INTELEGENSI
MAKALAH
diajukan sebagai
syarat dikusi
pada mata kuliah
Psikologi Umum
Dosen Pembimbing: Idi Warsa, M. Pd. I
DISUSUN OLEH:
1.
RIO MAHENDRA
2.
RIFDA ARAFAH
3.
RAHAYU DWI SARTIKA
4.
CANDRA GUNAWAN
JURUSAN
TARBIYAH
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS (PBI)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) CURUP
JALAN
A.K. GANI NO. 01 CURUP
2011
A. Pendahuluan
Intelegensi merupakan kemampuan yang
dimiliki oleh setiap insan. Intelegensi ini sangat erat kaitannya dengan
kehidupan manusia, keberhasilan, dan kesuksesan. Namun tingkat intelegensi yang
dimiliki setiap orang pastilah berbeda. Ini dikarenakan bahwa intelegensi
seseorang memang tergantung pada faktor-faktor yang membentuk intelegensi itu
sendiri.Oleh karena itu kita perlu memahami tentang teori-teori intelegensi
agar dapat meraih keberhasilan dan kesuksesan.
B. Pengertian
Intelegensi
1. Pengertian Intelegensi secara Etimologi
Intelegensi
berasal dari bahasa Inggris “Intelligence” yang juga berasal dari
bahasa Latin yaitu “Intellectus dan Intelligentia” yang berarti kecerdasan,
intelijen, atau keterangan-keterangan.[1] . Sedangkan dalam
bahasa Indonesia sering diucapkan bahwa intélijen adalah orang yg bertugas
mencari (meng-amat-amati) seseorang; dinas rahasia.
Teori
tentang intelegensi pertama kali dikemukakan oleh Spearman dan Wynn Jones Pol
pada tahun 1951. Spearman dan Wynn mengemukakan adanya konsep lama mengenai
suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia tunggal
pengetahuan sejati. Kekuatan tersebut dalam bahasa Yunani disebut dengan “Nous”
sedangkan penggunaan kekuatannya disebut “Noeseis”.
2. Pengertian Intelegensi secara Terminologi
Intelegensi menurut John W Santrock
adalah keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan
belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari.[2] Menurut David Wechsler , intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara
terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
Alferd Binet menyatakan intelegensi merupakan kemampuan yang diperoleh melalui
keturunan, kemampuan yang diwariskan dan dimiliki sejak lahir dan tidak terlalu
banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam batas-batas tertentu lingkungan turut
berperan dalam pembentukan kemampuan intelegensi. Kemudian menurut William
Stern, intelegensi merupakan kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada
kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan
tujuannya. Menurut dia inteligensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan
keturunan. Pendapat ini diperkuat oleh seorang ahli bernama Prof. Weterink
(Mahaguru di Amsterdam) yang berpendapat, belum dapat dibuktikan bahwa
intelegensi dapat diperbaiki atau dilatih. David Wechsler berpendapat,
inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara
rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Howard Gardner
mendefinisikan Inteligensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan
menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang
nyata.
Secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah suatu kemampuan mental
ataupun rohani yang melibatkan proses berpikir secara rasional untuk
meyesuaikan diri kepada situasi yang baru.
C. Tingkat-tingkat
Intelegensi
1. Kecerdasan Binatang
Pada mulanya banyak orang
berkeberatan digunakan istilah inteligensi pada binatang, karena mereka hanya
mau menggunakan istilah itu pada manusia saja. Menurut hasil penyelidikan para
ahli, ternyata bahwa kecerdasan itu bertingkat-tingkat.[3]
2. Kecerdasan Anak-anak
Yang dimaksudkan anak-anak di sini
adalah anak-anak kecil lebih kurang umur 1 tahun dan belum dapat berbahasa.
Kecerdasan anak-anak dipelajari terutama berdasarkan percobaan yang telah
dipraktekkan dalam menyelidiki kecerdasan binatang.
Usaha-usaha memperbandingkan perbuatan kera dengan anak-anak kecil membantu para ahli dalam mengadakan penyelidikan terhadap kecerdasan anak.
Usaha-usaha memperbandingkan perbuatan kera dengan anak-anak kecil membantu para ahli dalam mengadakan penyelidikan terhadap kecerdasan anak.
3. Kecerdasan Manusia
Sesudah anak dapat berbahasa tingkat
kecerdasan anak lebih tinggi daripada kera. Tingkat kecerdasan mausia (bukan
anak-anak) tidak sama dengan jera dan anak-anak. Beberapa hal yang merupakan
ciri kecerdasan manusia antara lain:
a. Penggunaan Bahasa
Kemampuan berbahasa mempunyai faedah
yang besar terhadap perkembangan
pribadi.
i.
Dengan
bahasa, manusia dapat menyatakan isi jiwanya (fantasi, pendapat, perasaan dan
sebagainya).
ii.
Dengan
bahasa, manusia dapat berhubungan dengan sesama, tingkat hubungannya selalu
maju dan masalahnya selalu meningkat
iii.
Dengan
bahasa, manusia dapat membeberkan segala sesuatu, baik yang lalu, yang sedang
dialami, dan yang belum terjadi, baik mengenai barang-barang yang konkret
maupun hal-hal yang abstrak
iv.
Dengan
bahasa, manusia dapat membangun kebudayaan.
b. Penggunaan Perkakas
Kata Bergson, perkakas adalah
merupakan sifat terpenting daripada kecerdasan manusia, dengan kata lain:
perkataan, perbuatan cerdas manusia dicirikan dengan bagaimana mendapatkan,
bagaimana membuat dan bagaimana mempergunakan perkakas.
Perkakas adalah sifat, tetapi semua
alat merupakan perkakas. Alat merupakan perantara antara makhluk yang berbuat
atau objek yang diperbuat. Perkakas mempunyai fungsi yang sama, tetapi
mempunyai pengertian yang lebih luas. Perkakas adalah objek yang telah
dibuat/dibulatkan dan diubah sedemikian rupa sehingga dengan mudah dan dengan
cara yang tepat dapat dipakai untuk mengatasi kesulitan atau
mencapai suatu maksud.[4]
D. Macam-macam
Intelegensi
1. Intelegensi
Terikat dan Bebas.
Intelegensi
terikat adalah intelegensi suatu makhluk yang bekerja dalam situasi-situasi
pada lapangan pengamatan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan vital yang
harus segera dipuaskan. Misalnya intelegensi binatang dan anak-anak yang belum
berbahasa.
Intelegensi
bebas terdapat pada manusia yang berbudaya dan berbahasa. Dengan intelegensinya
orang selalu ingin mengadakan perubahan-perubahan untuk mencapai suatu tujuan.
Kalau tujuan sudah dapat dicapai, manusia ingin mencapai tujuan yang lebih
tinggi dan lebih maju.
2. Intelegensi
Menciptakan (Kreatif) dan Meniru (Eksekutif).
Intelegensi
mencipta ialah kesanggupan menciptakan tujuan-tujuan baru dan mencari alat-alat
yang sesuai guna mencapai tujuan itu. Intelegensi keatif menghasilkan
pendapat-pendapat baru seperti : kereta api, radio, listrik dan kapal terbang.
Intelegensi
meniru, yaitu kemampuan menggunakan dan mengikuti pikiran atau hasil penemuan
orang lain, baik yang dibuat, diucapkan maupun yang di tulis.[5]
E.
Faktor-faktor
yang Menentukan Intelegensi Manusia
Para ahli belum sepenuhnya sependapat mengenai faktor-faktor apa saja
yang terdapat dalam inteligensi itu sendiri. Sebuah pendapat mengatakan bahwa faktor yang menentukan
intelegensi seseorang antara lain :
1. Pembawaan, yang ditentukan oleh
sifat-sifat yang dibawa sejak lahir.
2. Hereditas, yang diperoleh seorang
anak melalui keturunan atau nasab.
3. Kematangan, yang terutama ditentukan
oleh umur.
4. Pembentukan, yaitu perkembangan yang
diperoleh anak karena pengaruh milieu (lingkungan).[6]
Selain itu, gejala-gejala jiwa dan
fungsi-fungsi jiwa sangatlah mempengaruhi tindakan intelegen seseorang.
Misalnya :
a. Pengamatan, yakni kalau seseorang
berada dalam satu situasi yang harus mengambil tindakan yang intelegen maka dia
harus memiliki fungsi pengamatan yang baik.
b. Tanggapan dan Daya Ingatan, yakni
bahwa seseorang yang memiliki tanggapan daya ingatan yang baik akan lebih mudah
untuk memecahkan persoalan.
c. Fantasi, yakni seseorang yang kaya
fantasi akan dapat melihat lebih banyak kemungkinan pemecahan masalah yang
tidak terlihat oleh orang lain.
1) Berfikir
2) Kehendak dan Perasaan
3) Perhatian, dan
4) Sugesti, yakni bahwa seseorang yang
berbuat intelegen haruslah membebaskan diri dari pengaruh ataupun sugesti orang
lain.[7]
F.
Pengukuran
Intelegensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan
Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi
yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan
kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu
dinamakan Tes Binet-Simon. Seri tes dari Binet-Simon ini, pertamakali diberi
nama : “Chelle Matrique de l’inteligence” atau skala pengukur kecerdasan. Tes
binet-simon terdiri dari sekumpulan pertanyaan-pertanyaan yang telah
dikelompok-kelompokkan menurut umur (untuk anak-anak umur 3-15 tahun).
Pertanyaan-pertanyaaan itu sengaja dibuat mengenai segala sesuatu yang tidak
berhubungan dengan pelajaran di sekolah. Seperti mengulang kalimat-kalimat yang
pendek atau panjang, mengulang eretan angka-angka, memperbandingkan berat
timbangan, menceriterakan isi gambar-gambar, menyebutkan nama bermacam macam
warna, menyebut harga mata uang, dan sebagainya.
Dengan tes semacam inilah usia seseorang diukur atau ditentukan. Dari
hasil tes itu ternyata tidak tentu bahwa usia kecerdasan itu sama dengan usia
sebenarnya (usia kalender). Sehingga dengan demikian kita dapat melihat adanya
perbedaan-perbedaan IQ (Inteligentie Quotient) pada tiap-tiap orang/anak. Test
ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan
banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan
indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara
mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes
Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang
psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan
Intelligence Quotient atau IQ. Tes
Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai
usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah
bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman
mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum
saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih
spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat
tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS ( Wechsler
Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC
( Wechsler
Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan
tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes
tersebut dibuat.
G.
Simpulan
Secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan intelegensi adalah suatu kemampuan mental ataupun rohani
yang melibatkan proses berpikir secara rasional untuk meyesuaikan diri kepada
situasi yang baru. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara
langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang
merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional.
Intelegensi sebagai
sebuah kemampuan yang tertanam dalam diri masing-masing individu dapat ditumbuh
kembangkan dengan berbagai cara agar dapat membantu sebagai daya berpikir yang
ada dalam diri setiap individu manusia. Karena tanpa adanya intelegensi maka
pendidikan hampir mustahil untuk dilaksanakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi,
Abu. 1983. Psikologi Umum. Surabaya: Bina Ilmu.
Jayadi,
Loekman. 1985. Kamus Lengkap 950 Juta.
Surakarta: Nusantara.
http://id.wikipedia.org/wiki/Intelegensi
diakses pada 12 Oktober 2011.
http://kependidikanislam2010.blogspot.com/2011/06/intelegensi-versi-ubed.html
diakses pada 13 Oktober 2011
[1] Loekman Jayadi, Kamus Lengkap 950
Juta, Surakarta:Nusantara,1985. Hal. 159
[3] Abu Ahmadi, Psikologi Umum,
Penerbit PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1983.Hal. 177
[4] Ibid,. Hal. 179
[5] Ibid,. Hal. 181
[6] http://kependidikanislam2010.blogspot.com/2011/06/intelegensi-versi-ubed.html diakses pada 13 Oktober 2011
[7] http://kependidikanislam2010.blogspot.com/2011/06/intelegensi-versi-ubed.html diakses pada 13 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar