Minggu, 07 Oktober 2012
Cross Culture Understanding
Berikut aku kasih link, di mana teman-teman dapat mengunduh file contoh penelitian mahasiswa tahun lalu guna menambah referensi untuk membuat penelitian CCU (Cross Culture Understanding)............
NB. (Filenya cukup besar yakni 14 MB (butuh jaringan internet yang baik untuk mengunduhnya)
DOWNLOAD
Kamis, 04 Oktober 2012
The Articulate Mammal: An Introduction to Psycholinguistics: Amazon.co.uk: Jean Aitchison: Books
The Articulate Mammal: An Introduction to Psycholinguistics: Amazon.co.uk: Jean Aitchison: Books
DOWNLOAD
DOWNLOAD
An established bestseller, The Articulate Mammal is a concise and highly readable introduction to the main topics in psycholinguistics. This fifth edition brings the book up-to-date with recent theories, including new material on:
- the possibility of a ‘language gene’
- post-Chomskyan ideas
- language within an evolutionary framework
- spatial cognition and how this affects language
- how children become acclimatized to speech rhythms before birth
- the acquisition of verbs
- construction and cognitive grammar
- aphasia and dementia.
Requiring no prior knowledge of the subject, chapter by chapter, The Articulate Mammal tackles the basic questions central to the study of psycholinguistics. Jean Aitchison investigates these issues with regard to animal communication, child language and the language of adults, and includes in the text full references and helpful suggestions for further reading.
The accompanying website to this book can be found at: www.routledge.com/textbooks/9780415420228.
Blogged with the Flock Browser
Psikolinguistik
DOWNLOAD
-->
A. HAKIKAT BAHASA MANUSIA
Bahasa
Manusia: Hakikat,
Ciri,
dan Proses
Ciri,
dan Proses
A. HAKIKAT BAHASA MANUSIA
Menurut Anda, apa yang istimewa pada bahasa? Apa yang membuat bahasa itu
menjadi sesuatu yang khusus? Perlu
Anda ketahui bahwa ada sejumlah kegiatan
manusia seperti belajar
mengemudi atau belajar
merajut yang tampaknya dipelajari dengan cara yang sama seperti tikus yang berusaha
mengambil makanan di luar tempat persembunyiannya.
Tikus, seperti dalam percobaan
yang dilakukan oleh para
pakar Psikologi Behaviorisme, belajar mengambil makanan
di luar tempat
persembunyiannya dengan
coba
ralat
(trial and error). Apakah bahasa juga
dipelajari dengan
cara seperti itu? Tampaknya
para pakar tidak
sependapat jika
model belajar yang dilakukan oleh tikus itu diterapkan pada model belajar
bahasa. Mengapa bahasa tidak dipelajari dengan cara demikian?
Chomsky sering
mendeskripsikan hakikat bahasa dalam kajiannya. Satu hal yang ditekankannya
ialah bahwa bahasa itu menggunakan structure‑dependent
operations (operasi kebergantungan struktur). Operasi kebergantungan struktur
yang dimaksud ialah komposisi dan produksi tuturan
tidak hanya menguntai urutan kata-kata. Setiap kalimat
memiliki struktur internal
yang tak terdengar
(onaudibel)
yang harus dimengerti oleh
pendengar.
Agar dapat melihat
dengan jelas apa yang dimaksud dengan structure dependent operations, ada baiknya
kita bicarakan terlebih
dahulu konsep tersebut.
Misalkan, seorang
makhluk dari Planet
Mars mendarat di bumi dan mencoba belajar bahasa Indonesia. Mungkin ia akan
mendengar kalimat:
Paman Doblang menjatuhkan gigi palsunya di kamar mandi.
Kalimat itu juga dapat
dinyatakan dalam bentuk lain, yakni:
Di kamar mandi, Ppaman Doblang
menjatuhkan gigi palsunya.
Jika makhluk dari
Planet Mars itu cukup cerdas, ia akan mulai mencoba menduga rumusan kalimat
permutasi dalam bahasa Indonesia. Dugaannya yang pertama mungkin bahwa bahasa
Indonesia mempunyai kaidah
yang menyatakan,
‘Agar dapat membentuk kalimat
permutasi, keterangan tempat dapat diletakkan di depan kalimat.’
Secara permukaan strategi ini mungkin berjalan lancar. Misalnya, kalimat seperti:
Bibi Patonah duduk di belakang rumah.
Kalimat itu dapat diubah menjadi
kalimat sebagai berikut. Di belakang rumah bibi Patonah duduk.
Tetapi, dapat
saja strategi yang dilakukan oleh makhluk tersebut
salah, seperti kalimat berikut ini.
Ibu pergi ke pasar membeli daging.
la akan mengubahnya menjadi:
*Daging ibu pergi ke pasar membeli.
Makhluk dari Planet Mars itu salah
dalam menduga karena
ia mencobakan manufer structure dependent operations yang bersandarkan hanya pada prosedur
rekognisi sederhana atau penghitungan mekanis
tanpa melihat pada
struktur internal kalimat itu. Agar dapat menangkap prinsip permutasi tersebut,
makhluk dari Mars itu pertama-tama harus menyadari bahwa kalimat dalam bahasa
Indonesia terdiri atas kelompok-kelompok kata. Jumlah kata dalam tiap unit
kelompok itu tidak penting. Perhatikan
pengelompokan kata pada kalimat di atas.
Paman Doblang // menjatuhkan gigi palsunya // di kamar mandi. Bibi Patonah
// duduk // di belakang rumah. Ibu // mem beli daging // di pasar
Untuk mengadakan permutasi, kelompok-kelompok kata tersebut harus
berada dalam satu unit yang tak terpisahkan. Mengagumkan sekali, anak-anak yang belajar
bahasa Indonesia tampaknya tahu secara
otomatis bahwa bahasa
mencakup structure
dependent operation. Fenomena seperti
itu menuntun Chomsky
menyarankan
bahwa manusia mungkin mempunyai bakat pengetahuan tentang
perangkat bahasa. Sejauh ini dapat dikatakan
bahwa sesungguhnya structure dependent operation itu
tampak begitu kompleks.
Aspek fundamental bahasa yang lain adalah kreativitas. Hal itu berkali-kali ditekankan oleh Chomsky. Dengan kreativitas itu, Chomsky bermaksud
mengatakan
dua hal. Pertama dan terutama, ia bermaksud bahwa manusia memiliki
kemampuan
untuk memahami
dan menghasilkan tuturan
yang baru. Bahkan,
manusia mampu
menghasilkan kalimat
yang aneh, yang mungkin belum
pemah diucapkan sebelumnya
yang tidak akan membuat
masalah bagi pembicara maupun bagi pendengamya. Misalnya:
(1) Gajah itu minum bir tiga drum hingga mabuk dan kemudian mendengkur di sudut kandangnya.
(2) Harimau itu menyikat
giginya dengan sikat
gigi emas dan pasta gigi pepsodent biru.
Tuturan semacam
itu mungkin tidak
pernah diucapkan oleh orang sebelumnya. Akan tetapi, dapat saja muncul begitu
saja dan bagi pembicara maupun
penutur hal semacam itu tidaklah begitu
dipermasalahkan. Setiap orang
yang sudah menguasai tata bahasanya
secara otomatis akan membuang tuturan
yang menyimpang yang
mungkin belum pernah dijumpai
sebelumnya. Misalnya kalimat:
Makan yang itu
dikirim akan kacang orang
goreng adiknya sudah
barang tentu akan ditolak.
Kreativitas menurut
Chomsky dalam pengertian yang kedua ialah
bahwa tuturan itu tidak
dikendalikan oleh peristiwa eksternal. Munculnya kelompok kata bunga mawar, misalnya, tidak
akan memaksa orang
untuk berteriak, “mawar”. Dapat saja seseorang akan mengatakan, Alangkah indah warnanya, atau, Oh, harum benar baunya, atau yang lain akan berkata, Bunga lagi, bunga lagi. Bosan, ah. Jelaslah
bahwa bahasa tidak hanya merupakan untaian kata-kata.
Agar dapat berbicara, manusia memiliki perangkat kaidah yang kompleks yang
terinternalisasikan yang memungkinkan dia mengucapkan serangkaian bahasanya
yang mungkin (apa pun) meskipun dia mungkin tidak memiliki pengetahuan kaidah
itu secara sadar. Misteri besar
yang perlu dipecahkan ialah bagaimana anak-anak membentuk gramatisator otomatis
untuk dirinya sendiri. Ada dua
kemungkinan.
Kemungkinan pertama, bayi manusia tahu sebelumnya tentang
bahasa itu seperti apa. Kemungkinan
kedua, tidak perlu ada pengetahuan khusus sebelumnya karena anak‑anak mampu
memecahkan masalah dengan sangat
efisien dalam
semua kawasan perilaku manusia.
Chomsky percaya bahwa
manusia secara genetik dikaruniai pengetahuan tentang bahasa
yang sering dirujuk
sebagai “hipotesis
pembawaan” Obe innateness byphothesis). Maksud bakat
atau pembawaan itu
menurut Chomsky
adalah genetically programmed (yang diprogram secara genetik).
la tidak mengatakan bahwa
bayi itu dilahirkan dengan bahasa di benaknya dan siap
untuk berbicara kapan
saja. la hanya
menyatakan bahwa ada blueprint (cetak biru)
di sana yang dapat digunakan
ketika anak itu sampai pada tahap perkembangan
tertentu.
Kata berbicara dapat digunakan
dengan dua makna yang sama sekali berbeda. Pada satu sisi,
ia dapat bermakna
‘to utter words’
(mengucapkan kata)
seperti halnya seekor burung kakak tua yang berkata
Selamat pagi atau mengumpat
jangkrik, jangkrik, atau
seperti burung beo yang dapat
berbicara, Assalamu ‘alaikum
atau memanggil-manggil nama seseorang, “Mawar, Mawar” atau Kulonuvrun, dan
sebagainya. Pada sisi lain, ia dapat bermakna’menggunakan bahasa dalam cara
yang bermakna’.
Kita tahu bahwa binatang
seperti kakak tua, beo, dan sejenisnya dapat
‘berbicara’ dalam
pengertian yang pertama.
Psikolinguis ingin membuktikan apakah binatang dapat berbicara dalam pengertian yang kedua juga.
Mereka tertarik pada masalah ini karena mereka ingin tahu
jawaban terhadap pertanyaan berikut ini: apakah kita adalah satu-satunya
makhluk yang mempunyai bahasa? jika demikian, apakah hanya kita yang dapat
memperoleh bahasa?
Untuk memahami hakikat
bahasa, kita perlu
memahami dua hal penting.
Pertama, tentang semua sistem komunikasi binatang
dibandingkan dengan bahasa
manusia untuk melihat apakah binatang dapat dikatakan berbicara
dalam arti yang sesungguhnya. Kedua, beragam upaya
mengajari binatang untuk
berbahasa juga
dibahas dalam bab ini. Tujuan semua kajian itu tidak lain adalah untuk melihat
apakah hanya manusia yang memiliki potensi untuk berbicara. Apakah kita secara biologis terpilih sebagai binatang
yang berbicara atau tidak.
Apakah binatang berbicara?
Tugas kita pertama-tama adalah menemukan
apakah binatang itu sesungguhnya mempunyai bahasa. Untuk menemukan jawaban itu, kita perlu membuat bandingan antara bahasa manusia
dengan komunikasi binatang.
Pertama
yang perlu kita pertimbangkan adalah apakah kita membandingkan sistem yang berbeda
secara kuantitatif atau secara kualitatif. Bahasa manusia mungkin berkembang secara gradual dari sarana komunikasi binatang yang primitif dalam garis pertumbuhan yang
berkesinambungan. Pandangan semacam
itu berangkat dari teori yang dikenal dengan teori kontinuitas. Pada sisi lain, yakni teori diskontinuitas, menyatakan bahwa bahasa
manusia itu berbeda
dengan bahasa binatang.
Pendukung teori kontinuitas mengatakan bahwa bahasa tumbuh dari sistem panggil primata, seperti
yang digunakan oleh kera sekarang ini. Mereka berasurnsi bahwa manusia
mulai ‘berbahasa’ dengan seperangkat teriakan
di mana tiap-tiap
teriakan itu mempunyai maknanya
masing-masing seperti bahaya, ikutilah saya,
atau jangan sentuh
betina itu, ia milik saya. Teriakan-teriakan itu secara bertahap
diperluas
dan pelan-pelan berevolusi menjadi bahasa.
Pendukung teori
diskontinuitas menyatakan bahwa manusia masih mempertahankan perangkat dasar
teriakan binatang, yang masih berdampingan dengan bahasa. Erang kesakitan,
teriakan ketakutan, serta beragam tangisan bayi
mungkin masih
relevan dengan sistem
panggil kera. Bila pandangan itu benar, tentu
sukarlah untuk membandingkan sarana komunikasi manusia dan binatang. Hal
semacam itu seperti membandingkan dua hal yang berbeda seperti
membandingkan bahasa Cina dengan seperangkat lampu lalu lintas.
Masalah penting
kedua yang kita hadapi ialah
tidak mudah untuk
menentukan mana yang dianggap sebagai komunikasi binatang. Untuk
menentukannya kita harus memperhatikan contoh-contoh di mana binatang
itu secara sengaja
mencoba menyampaikan informasi.
B. CIRI BAHASA MANUSIA
Untuk membandingkan
bahasa manusia dengan sistem komunikasi binatang, langkah pertama ialah kita berupaya mendefinisikan
bahasa. Bloch dan Trager (1942), misalnya, memberikan definisi bahasa itu sebagai berikut. Bahasa adalah
sistem lambang
bunyi ujar yang bersifat manasuka
yang merupakan sarana kelompok
sosial bekerja sama. Jika kita perhatikan definisi
tersebut, terdapat beberapa
unsur
penting dalam bahasa, yakni:
(a) bahasa itu sistem
(b) bahasa itu lambang bunyi
(c) bahasa itu dihasilkan oleh alat ucap
manusia
(d) bahasa itu bersifat arbitrer (manasuka)
(e) bahasa itu merupakan sarana komunikasi
antarmanusia.
Dari definisi
tersebut, Aitchison (1984) menyatakan bahwa karakteristik
bahasa
manusia itu adalah sebagai berikut.
1. menggunakan saluran
vokal-lauditoris
2. arbitrer
3. kebermaknaan
4. transmisi budaya
5. penggunaan spontan
6. saling berganti
7. dualitas
8. keterpisahan
9. kebergantungan struktur
10. kreativitas
Seagai catatan
Hockett (1963) menyatakan
bahwa ada enam
belas ciri bahasa manusia, yakni
(1) jalur vokal-auditoris, (2) penyiaran ke semua jurusan, penerimaan terarah,
(3) cepat hilang,
(4) dapat saling
berganti, (5) umpan
balik yang lengkap, (6)
spesialisasi, (7) kebermaknaan, (8) kesewenangan, (9) keterpisahan, (10) keterlepasan, (11) keterbukaan, (12) pembelajaran, (13) dualitas struktur, (14)
benar atau tidak, (15) refleksivitas, (16) dapat dipelajari. Adapun mengenai hal
terebut
akan diuraikan seperti berikut.
1. Jalur vokal-auditoris
Ciri ini merupakan karakteristik bahasa yang paling
tampak. Bunyi bahasa
dihasilkan oleh alat ucap manusia dan mekanisme pendengaran menerimanya.
Penggunaan bunyi juga banyak digunakan
oleh binatang sebagai
sarana komunikasi. Akan tetapi,
tidak semua sinyal bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap. Burung pelatuk dengan
paruhnya mematuk di pohon-pohon, jangkerik mengerik dengan sayapnya, ular
getar (rattle snake) bersuara dengan menggetarkan ekornya, tetapi memang ada
binatang yang menggunakan alat ucapnya untuk menghasilkan sarana komunikasi,
seperti burung,
sapi, kera, serigala. Meskipun demikian, kelompok
yang terakhir itu tidak memiliki ciri-ciri bahasa yang
lain.
2. Arbitrer
Ciri ini mempunyai makna
bahwa bahasa manusia itu menggunakan lambang yang bersifat sewenang-wenang. Artinya, antara lambang dengan yang dilambangkan tidak mempunyai hubungan makna. Misalnya,
mengapa suatu benda disebut kuda, tidak lain karena ada kesepakatan
antara pengguna bahasa untuk menyebutnya sebagai kuda. Antara lambang bunyi /kuda/ dengan binatang yang berkaki empat yang dapat meringkik itu tidak
mempunyai hubungan makna apaapa. Bahasa merupakan hasil kesepakatan
bersama
atau
konvensi.
jika
sekelompok
orang
sepakat untuk menyebut suatu benda itu, misalnya, sione, maka jadilah benda itu
bernama sione. Tetapi, harus
juga dicermati bahwa
terdapat kontroversi antara
teori arbitrer
itu dengan teori yang lain. Sejak zaman Aristoteles, fenomena
seperti
itu sudah didiskusikan. Terdapat
dua aliran, yakni aliran analogi dan anomali.
Kelompok
anomali adalah kelompok yang sepaham dengan teori arbitrer tersebut,sedangkan
kelompok analogi berpendapat bahwa ada hubungan antara lambang dengan
sesuatu yang dilambangkan. Beberapa contoh dikemukakan sebagai berikut.
jangkerik bunyinya krik, krik, krik cicak bunyinya cak, cak, cak
tokek “”----bun~inya tokek, tokek
dan sebagainya.
Contoh itu menunjukkan terjadinya
bahasa karena peristiwa
onomatope atau tiruan bunyi. jadi, ada alasan mengapa sesuatu dinamakan
sesuatu; atau ada hubungan antara lambang dengan sesuatu yang dilambangkan. Contoh lain gejala
semacam itu tampak pada apa yang disebut sebagai apelativa, yakni penyebutan
sesuatu berdasarkan penemu, pabrik pembuatnya,
atau nama dalam sejarah.
ikan mujair penemunya Pak Mujair ketela mukibat
penemunya Pak Mukibat kondom
penemunya Prof. Kondom
kodak merknya Kodak
colt merk mobilnya Colt dst.
Gejala etimologi
rakyat dalam berbagai
bahasa daerah di Indonesia, terutama dalam bahasa jawa yang dikenal
dengan kerata basa, juga merupakan petunjuk
adanya aliran analogi. Orang jawa menjelaskan bahwa kata-kata tertentu
itu ada
janva dosoknya (etimologi rakyatnya).
Contoh:
1. kursi mungkur karo ngisi (membelakangi
sambil mengisi)
2. dubang idu sing rupane abang (air lidah
yang wamanya merah)
3. wedang ngawe kadang (memanggil saudaranya)
4. tepas titip napas (titip nafas)
5. krikilkeri marang sikil ( geli pada kaki)
Gejala pembentukan
kata seperti itu juga tampak dalam bahasa Indonesia seperti berikut ini.
tilang : bukti pelanggaran rudal : peluru kendali bemo : becak motor
angguna : angkutan serba guna gepeng : gelandangan dan pengemis wisman : wisatawan mancanegara wisnu : wisatawan nusantara
bimas : bimbingan masyarakat inpres : instruksi presiden dsb.
Kontroversi analogi
dan anomali itu sebenarnya tidak perlu dipertajam. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa itu dapat dibentuk berdasarkan sudut pandang analogi
maupun anomali, namun secara kuantitatif gejala anomali itu sangat dominan.
3. Kebermaknaan
Ciri ini berarti
bahwa bahasa mengacu
pada objek atau tindakan. Bagi manusia,
kursi berarti tempat duduk yang berkaki empat dan memiliki
sandaran. Manusia
dapat membuat generalisasi
dengan menerapkan nama kursi itu untuk semua jenis kursi dan tidak hanya untuk
satu tipe kursi saja. Lebih jauh lagi, kebermaknaan dapat pula
mengacu
pada
tindakan.
Misalnya,
melompat
mempunyai
makna
‘melakukan gerakan dengan mengangkat kaki ke
depan, ke bawah, atau ke atas, dengan cepat’.
Kebermaknaan
merupakan ciri bahasa yang khas manusia. Binatang mungkin hanya dapat
mengkomunikasikan tentang situasi secara keseluruhan. Seekor ayam betina yang
meneriakkan tanda bahaya ketika ada serigala di dekat anak-anaknya mungkin hanya
menyampaikan pesan, “Awas, awas!
Ada bahaya mengancam!” Ayam betina itu
tidak akan menggunakan kode yang bermakna ada serigala, misalnya. Mengapa demikian? Dalam situasi bahaya
yang lain, misalnya, ada ancaman burung elang atau ular ganas, ia juga
akan menggunakan tanda komunikasi yang sama untuk anak-anaknya. Jadi, ia tidak membedakan
antara tanda bahaya karena ada ancaman serigala, elang, ular, atau ancaman yang lain.
4. Transmisi budaya
Ciri
ini menunjukkan bahwa bahasa manusia itu diturunkan dari generasi
sebelumnya. Peranan pengajaran dalam
dunia binatang tidak begitu jelas. Kita
tidak tahu persis apakah burung itu mengajari anaknya untuk menyanyi atau
berkomunikasi, atau anaknya belajar dari induknya untuk berkomunikasi. Bagi
burung, mungkin nyanyiannya itu sebagian besar
adalah bawaan dan
mungkin sebagian kecil saja yang
merupakan hasil belajar. Burung
jalak misalnya, karena sejak kecil
mendengarkan suara burung
kutilang, maka dapat
juga ia menyanyikan lagu burung
kutilang, sementara nyanyian
khas burung jalak itu masih tetap dipertahankannya. Bahkan, mungkin karena
sering mendengar kucing yang mengeong-ngeong, tidak jarang ada burung jalak
yang juga bisa mengeong seperti kucing.
Meskipun perbedaan
antara manusia dan binatang atas ciri ini tidaklah merupakan ciri yang ketat
berbeda, tampaknya komunikasi dalam binatang itu jauh
lebih merupakan bawaan daripada yang
terjadi pada manusia. Jika seorang anak
diisolasikan, misalnya dari kehidupan manusia, ia tidak akan mampu berbahasa.
Sebaliknya, burung yang diisolasikan dari dunia burung, masih tetap akan dapat
menyanyi seperti burung yang lainnya.
5. Penggunaan
spontan
Ciri ini bersifat sosial.
Penggunaan spontan
menunjukkan manusia itu dapat memulai berbicara secara manasuka.
Berbicara bagi manusia tidak dalam situasi terpaksa atau dipaksa seperti halnya
anjing yang berdiri
di atas dua kaki belakangnya karena mendapatkan makanan atau mungkin cambukan.
Sebenarnya ciri ini juga tidak khas
manusia sebab beberapa binatang juga dapat memulai
komunikasinya secara bebas dan tidak dalam keadaan terpaksa.
6. Bergiliran
Ciri ini menunjukkan bahwa
bahasa manusia dapat digunakan secara bergiliran. Ketika seseorang sedang berbicara, maka yang lain mendengarkan
dan kemudian ganti berbicara, jika diperlukan. Dalam sebuah percakapan, misalnya, kita tidak akan berbicara sementara lawan kita
sedang berbicara. Kita menunggu
giliran kita berbicara dengan sopan. Perhatikan
dialog berikut ini.
(-) Selamat pagi, Pak.
(+) Selamat pagi. Ada
yang dapat saya bantu?
(-) Saya mau minta tolong untuk
menyelesaikan tugas ini, Pak.
(+) Baiklah,
letakkan di situ dulu, nanti kalau saya agak luang akan saya tangani.
(-) Terima kasih, Pak. (+) Sama-sama.
Dari dialog itu tampak bahwa dalam berkomunikasi dengan
bahasa, manusia dapat menunggu gilirannya berbicara.
7. Dualitas atau artikulasi ganda
Ciri ini
menunjukkan bahwa bahasa
manusia itu diorganisasikan menjadi dua tataran, yakni kesatuan dasar yang berupa bunyi tuturan seperti bunyi /a/, /p/, / e/, /l/,
tidak akan bermakna apabila
berdiri sendiri-sendiri. Tetapi demikian
bunyi itu bergabung menjadi
satu unit, /apel/, maknanya jelas sekali, yakni sejenis buah-
buahan. Fenomena
semacam itu hanya khas milik manusia. Binatang
tidak memiliki unit
bunyi-bunyi yang kemudian disatukan dan mengandung makna semacam itu. Beberapa
jenis binatang konon juga memilikinya, tetapi dalam keadaan sangat terbatas.
8. Keterpisahan
Ciri ini mengandung makna
bahwa bahasa itu dapat digunakan untuk mengacu benda atau sesuatu
yang jauh dalam pengertian tempat dan waktu. Sekarang, misalnya, kita
dapat saja berbicara tentang kerajaan Majapahit yang ada dalam abad ke 14.
Jelas dari segi waktu jauh di belakang kita berabad-abad lamanya, namun bahasa
dapat digunakan untuk mengacu pada peristiwa atau benda-benda jauh di belakang kita dari segi waktu. Demikian
juga bahasa dapat digunakan untuk mengacu sesuatu yang jaraknya
jauh dari kita dari segi tempat. Kita dapat
berbicara tentang Putri Diana yang meninggal di Inggris, meskipun kita
berada di Indonesia. Bahkan, sekarang ini kita dapat
berbicara secara langsung
dengan orang-orang yang jaraknya bisa mencapai ribuan bahkan
jutaan kilometer dari kita.
Gejala semacam
itu jarang kita
temukan pada binatang. Memang ada beberapa binatang yang dapat
berbuat
seperti
manusia.
Lebah,
misalnya,
mempunyai
perilaku semacam
itu. Bila seekor
lebah pekerja menemukan sumber madu ia akan
kembali ke kelompoknya dan menginformasikan bahwa ia menemukan sumber madu. la akan menari-nari dengan cara tertentu
bila sumber madu itu jauh, dan ia akan menari-nari dengan cara yang lain apabila sumber madu itu dekat saja. Akan tetapi, secara umum, binatang kurang memiliki ciri keterpisahan tersebut. Lebah tidak akan dapat
menginformasikan bahwa ia kemarin lusa hinggap pada sekuntum
bunga yang sangat indah, yang merupakan sumber
madu yang bagus.
Mari kita lihat apakah sekarang ini sumber madu itu masih ada atau tidak. Yang dapat dikatakan
oleh lebah itu hanyalah, ”Mari ke sumber madu yang saya temukan.” Lebah itu tidak
akan dapat menginformasikan, misalnya, ”Mungkin di puncak Gunung Lawu banyak
sekali madu. Kita bisa ke sana minggu
depan.” Tampaklah bahwa keterpisahan
dalam
sistem komunikasi lebah itu sangat terbatas.
9. Ketergantungan
Ciri ini merupakan ciri yang
sangat penting bagi bahasa manusia. Manusia tidak hanya sekadar menerapkan
rekognisi sederhana atau teknik penghitungan ketika berbicara kepada orang
lain. Mereka secara otomatis mengenali pola hakikat bahasa dan memanipulasikan
kotak struktur. Misalnya, mereka
memahami bahwa sekelompok kata kadang-kadang
dapat menjadi ekuivalensi bagi kelompok yang lain. Misalnya, kalimat
berikut ini.
Wanita tua yang mengenakan kebaya lurik itu memberi makan ayam.
Manusia dapat mengatur kalimat aktif itu menjadi kalimat pasif berdasarkan kaidah yang dimilikinya sebagai
berikut.
Ayam itu diberi makan oleh wanita tua yang mengenakan kebaya lurik.
Apakah binatang
mampu melakukan hal serupa itu? Rasanya tidak mungkin
hal itu dikerjakan oleh binatang.
10.Kreativitas
Ciri yang secara keseluruhan
sangat penting adalah ciri kreativitas. Ciri ini sering juga disebut sebagai keterbukaan
atau produktivitas. Manusia dapat berbicara tentang apa pun tanpa
menimbulkan masalah kebahasaan bagi dirinya maupun bagi pendengamya. la dapat
berbicara apa yang diinginkannya dan kapan ia mau berbicara. jika ada petir, misalnya,
ia tidak secara otomatis mengucapkan kalimat
Ada petir. Berlindunglah. Ia dapat saja berkata, Kilat petir itu indah,
bukan?
atau, Menurut dongeng
Cina, guntur itu
adalah
suara dua ekor naga yang sedang
bertempur dalam kaleng raksasa.
Setelah kita mengkaji
ciri-ciri bahasa tersebut,
dapatkah kita katakan
bahwa
binatang itu dapat berbahasa
atau dapat berbicara? Bila untuk mengukur binatang itu berbahasa atau tidak
didasarkan pada kesepuluh ciri tersebut, maka jawabnya jelas bahwa binatang itu
tidak berbahasa atau tidak berbicara. Binatang hanya memiliki sebagian kecil
dari ciri-ciri tersebut dalam keadaan terbatas. Burung bernyanyi mempunyai dualitas dan lebah
menari mempunyai ciri
keterpisahan dalam derajat tertentu, namun seperti kita ketahui, tidak ada sistem
komunikasi binatang mempunyai
dualitas
dan
keterpisahan. Tidak
ada
sistem
komunikasi
binatang
yang terbukti memiliki kebermaknaan atau menggunakan structure dependent
operations. Di atas semuanya itu, tidak ada binatang yang berkomunikasi secara
kreatif
dengan binatang lain.
Mendiskusikan upaya mengajari binatang
penting untuk membedakan mimikri dengan bahasa yang sebenarnya. Burung kakak tua dan
kabayan dapat menirukan manusia dengan artikulasi yang baik. Konon ada kakak tua yang dapat
mengucapkan
Selamat Pagi, Selamat Sore, dan Selamat Jalan, dengan tepat
situasinya. Akan
tetapi, kebanyakan burung
hanya asal berbicara saja tanpa melihat situasinya. Meskipun pagi hari, dapat
saja ia berbicara Selamat Sore. Atau baru saja bertemu
ia sudah berbicara selamat jalan. Meskipun ahli Psikologi banyak membuang waktunya
untuk kakak tua semacam
itu, namun hasilnya
tidaklah memuaskan. Kera tampaknya merupakan makhluk
yang lebih menjanjikan dan memberikan harapan
untuk dapat diajar berbicara.
Lebih dari lima puluh tahun banyak percobaan dikerjakan untuk mengajari
simpanse berbicara.
Eksperimen pertama gagal. Gua, seekor simpanse yang dimiliki
Prof. Kelogg sejak berumur tujuh
bulan diajar berbahasa. la dianggap sebagai
bayi manusia dan diberi makanan seperti layaknya
anak manusia. la makan dengan
sendok, dimandikan, diberi
pakaian, dan diajar berbahasa. Meskipun ia pelan-pelan memahami makna kira-kira
tujuh puluh kata yang terpisah, sesungguhnya ia tidak pernah berbicara. Gua menunjukkan secara jelas bahwa
bukan masalah kurangnya kesempatan dalam
berbahasa. Sedangkan anak Prof. Kelogg yang umurnya sama dengan simpanse
itu tumbuh sebagai anak yang normal dan mampu berbicara dengan baik.
Percobaan kedua terhadap
simpanse dilakukan oleh Keith dan
Hayes yang memiliki simpanse bernama
Vicki. Simpanse itu diajar
bahasa Inggris secara
intensif selama tiga tahun. Tetapi,
hasilnya sangat mengecewakan. Vicki hanya mampu
menguasai empat buah kata yakni papa, mama, cup,
dan up. Itu pun diucapkannya
secara
tidak begitu jelas.
Gagal dengan
pelatihan bahasa lisan,
atas program pelatihan
simpanse itu, ahli yang lain mencoba
untuk membuat eksperimen dengan menggunakan
bahasa isyarat
American Sign
Language (ASL). Adalah Gardner
yang mempunyai
seekor simpanse
betina bernama Washoe. Simpanse
itu kemudian dilatih
khusus
menggunakan bahasa
isyarat tersebut. Dalam
sistem ini, isyarat
melambangkan
kata. Misalnya, kata manis dilambangkan dengan meletakkan tangan di atas lidah,
lucu dilambangkan dengan menekan ujung jari pada hidung sambil mengeluarkan
bunyi dengkur. Washoe
memperoleh bahasa secara alami.
Mula-mula simpanse
itu menguasai sejumlah kata tunggal, seperti come,
gimme, sweet, tickle‑‑sampai sejumlah 34 kata dalam
satu bulan. Lalu terus merayap
sampai lebih dari seratus kata.
Tuturan Washoe jelas memiliki kebermaknaan. la tidak mengalami kesulitan memahami tanda yang diberikan orang
lain. Ia tidak mengalami kesulitan bahwa
tanda itu bermakna
tertentu. Yang lebih mengesankan lagi Washoe mampu memiliki kreativitas bahasa, yakni dengan
menggunakan lambang-lambang gerak itu secara bersamaan dalam kombinasi yang
bermakna. Tuturan hasil kreasi Washoe itu mirip dengan tuturan anak-anak kecil yang belajar bahasa.
Simpanse
lain yang dijadikan objek eksperimen adalah Sarah, seekor simpanse betina milik
Premack. Sarah dilatih dengan cara
lain. Dalam eksperimen itu digunakan manipulasi
tanda-tanda plastik pada papan magnetis. Tiap tanda merepresentasikan sebuah kata. Segitiga berwama kuning, misalnya bermakna lapel’; segi empat merah berarti ‘pisang’
dan sebagainya. Komunikasi Sarah agak
ganjil. la tidak terlibat dalam pembicaraan seperti Washoe. Sarah juga tidak pernah memulai suatu pembicaraan atau
tuturan dan juga tidak begitu diyakini bahwa
ia memiliki kreativitas bahasa. Eksperimen dengan Sarah
membuktikan bahwa anak-anak yang mengalami hambatan mental yang serius
yangtidak dapat memperoleh bahasa secara normal mungkin
dapat diajar dengan sistem Sarah
tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)